Reformasi dapat diartikan sebagai pembaharuan
ajaran agama Nasrani. Dalam bahasa Inggris disebut “Reformation”. Pembaharuan
ini dipelopori oleh Martin Luther, lahir di kota Eisleben, Jerman pada tanggal
10 Nopember 1483. Atau dapat diartikan sebagai Reformasi merupakan suatu
gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya
perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya
yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda
berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial
merupakan faktorfaktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan,
krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan.
Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar- tawar lagi dan
karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan
reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia
menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional
diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan
budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap
kesulitan dan penderitaan rakyat. Pasca runtuhnya
rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun 1998. Indonesia,
kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga Orde Reformasi.
Keadaan bersejarah bangsa
Indonesia ini membawa dampak perubahan yang besar pada bidang politik, sosial,
ekonomi Indonesia. Masa pasca ekonomi merupakan jaman yang menantang dan
menguji masyarakat bangsa Indonesia.
A. Bidang Politik
Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi
diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang berlangsung di Indonesia pasca
reformasi berkaitan dengan kekuasaan, pengambilan keputusan, kepentingan umum,
seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Harus diakui, perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi 1998 tidak sepenuhnya berada di
dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke tangan
kelompok ideologis lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan
liberal yang memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi
ekonomi, lebih dominan. Jika pun terjadi sirkulasi kepemimpinan elit politik di
negeri ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan kalangan “kiri”
dan “sosial-demokrasi”, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok
ini. Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah
kegagalan membangun organisasi strategis
di dalam mengarahkan perubahan. Kaum kiri dan sosial-demokrat, selain miskin
inovasi di dalam menyusun skema organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan
publik mengenai platform perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana
di tataran “ideologi abstrak” menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan
publik yang lebih luas, selain persoalan-persoalan konflik internal yang tak
berkesudahan. Oleh karena itu, dengan gampang desain kaum liberal “diterima”
menjadi desain baru sistem politik Indonesia, sementara sistem ekonomi
kapitalistik tinggal meneruskan skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan
kecil ditambah penetrasi ide neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan
yang lemah akan modal sosial, finansial dan jaringan sosial-politik yang
miskin, ditambah miskinnya kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-demokrat
berada di pinggiran.
Dalam posisi seperti inilah kemudian
format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum liberal menjadi begitu
dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan pemain lama di dalam
pentas politik dan ekonomi nasional, kita sebut saja sebagai “broker politik
dan ekonomi” suatu istilah yang mungkin secara akademik kurang tepat. Tidak
heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik menjadi hampir tidak
terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan institusi
dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik pemerintahan jauh
dari apa yang dicita-citakan kaum kiri dan sosial-demokrat.
Secara singkat dapat dilihat beberapa
kelebihan dan kekurangan pada masa pasca reformasi
a. Kelebihan
Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi adalah sebagai berikut.
1. Adanya
kebebasan berpendapat dan kepentingan yang tidak pernah direalisasikan pada
masa Orde Baru
2. Berkurangnya
cara-cara kekerasan terhadap masyarakat yang berusaha mengkritik pemerintah.
Dimana pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh pengkritik pemerintah akan dipenjarakan,
dan adanya para Petrus (penembak misterius) yang diduga pembunuh bayaran
pemerintah yang bertugas untuk “menghabisi” orang-orang yang berusaha membuka
kedok pemerintah.
3. Perbaikan
bidang HAM yang pada masa Orde Baru banyak dilanggar oleh pemerintah sendiri
4. Semakin
tingginya partisipasi dan antusiasme masyarakat dalam berbagai kegiatan
politik, terutama dalam pembentukan partai. Pada perhitungan awal reformasi,
ada lebih dari 80 parati politik yang terbentuk walau banyak pula yang tergusur
pada saat masa pendaftaran resmi dibuka
5. Semakin
diterapkannya otonomi daerah, dimana kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh
pemerintah pusat tetapi daerah juga diberi kewenangan dalam mengurus rumah
tangganya sendiri
6. Keadilan
semakin terasa menyeluruh pada masyarakat Indonesia. Seperti dikemukakan
penulis pada bab pendahuluan, bahwa masyarakat etnis Tionghoa menjadi sama
haknya dengan WNI lainnya, pengakuan agama Konghucu, dan menjadikan Hari Raya
Imlek sebagai libur nasional
b. Kekurangannya adalah sebagai berikut.
1. Maraknya
kerusuhan akibat demonstrasi yang dilakukan para aktivis sebagai bentuk
penyaluran aspirasi masyarakat. Sumber Daya Manusia Indonesia yang tidak
mengerti bagaimana seharusnya demonstrasi yang baik malah melakukan tindakan
anarkis sebagai bentuk kepedulian pada kepentingan masyarakat.
2. Merajalelanya
KKN sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah. Pejabat-pejabat daerah
berpendapat bahwa bukan hanya pemerintah pusat saja yang mampu melakukan KKN,
tetapi mereka juga mampu.
3. Kebebasan
pers disalah gunakan banyak pihak (penguasa) untuk mencari keburukan dari
elit-elit politik yang menjadi saingan politiknya. Sehingga yang terjadi
perpecahan antar partai koalisi, bahkan perpecahan ditubuh partai itu sendiri.
4. Semakin
maraknya intervensi asing (teroris) sebagai akibat kelemahan pertahanan dan
keamanan dalam negeri. Juga akibat sifat pemerintahan Indonesia yang terlalu
terbuka terhadap luar negeri.
5. Meningkatnya
kriminalitas akibat perlindungan HAM yang tidak seimbang. Semua pelaku criminal
tersebut akan membela diri dengan mengatakan bahwa ia melakukan kejahatan
karena hak nya tidak terpenuhi.
B. Bidang Sosial
Perubahan politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998
merupakan babak baru bagi penyelesaian masalah Timor Timur. Pemerintah
Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah menawarkan pilihan,
yaitu pemberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara Kesatuan RI
atau memisahkan diri dari Indonesia.
Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New
York,Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1999 ditandatangani kesepakatan
tripartit antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melakukan jajak
pendapat mengenai status masa depan Timor Timur.
PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations Assistance
Mission in East Timor (UNAMET). Misi ini bertugas melakukan jajak pendapat.
Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti
oleh 451.792 penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria UNAMET. Jajak pendapat
diumumkan oleh PBB di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999.
Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk Timor Timur menolak
menerima otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima usul otonomi khusus yang ditawarkan
pemerintah RI. Ini berarti Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan
MPR No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur
menyatakan mencabut berlakunya Tap. MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui
hasiljajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus.
Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih
waspada terhadap masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era
reformasi terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Papua dilakukan dengan memberi
otonomi khusus pada dua daerah tersebut.
Untuk lebih memberi perhatian dan semangat pada
penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid nama Irian
Jaya diganti menjadi Papua. Pemerintah pusat juga memberi otonomi khusus pada
wilayah Papua.
Dengan demikian, pemerintah telah berusaha merespon
sebagian keinginan warga Papua untuk dapat lebih memaksimalkan segala
potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu, masih
saja terjadi usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh
Theys H. Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua.
Gerakan Papua Merdeka sempat mereda setelah Theys H.
Eluoy tewas tertembak pada tanggal 11 November 2001 yang diduga dilakukan oleh
beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X. Penyelesaian konflik seperti itu
sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang memancing di
air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras.
Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat
tidak memberikan hasil maksimal. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi khusus dengan nama Nanggroe Aceh
Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat sambutan sebagian
rakyat Aceh.
Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada
tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka. Akibatnya, di Aceh sering terjadi
gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa
kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh
yang memihak Indonesia.
Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat
dengan persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum
darurat militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka
ditangkap. Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga
sipil sehingga diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di
Indonesia. Teror bom terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta,
Bali yang menewaskan ratusan orang asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom
berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di Jakarta beberapa
waktu lalu.
Keadaan yang tidak aman dan banyaknya teror bom
memperburuk citra Indonesia di mata internasional sehingga banyak investor yang
batal menanamkan modal di Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang kurang
menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya hukum dan hak
asasi manusia (HAM) sebagaimana mestinya.
Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang
menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah
terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat makin tidak
percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian pimpinan
negara sejak Soeharto tidak menjadi Presiden RI.
Saat Krisis
Moneter
Sejak krisis moneter tahun 1997, perusahaan swasta mengalami kerugian dan
kesulitan dalam membayar gaji karyawan. Sementara itu harga-harga kebutuhan
bahan pokok semakin melambung tinggi. Hal ini berakibat langsung kepada para
pekerja. Sehingga banyak karyawan yang menuntut kenaikan gaji pada perusahaan.
Keadaan inilah yang menjadi masalah cukup berat, karena satu sisi
perusahaan mengalami kerugian dan di sisi lain para pekerja menuntut kenaikan
gaji. Tuntutan tersebut sangat sulit dipenuhi dan pada akhirnya berimbas pada
mem-PHK karyawannya.
Karyawan yang di PHK itu menambah jumlah pengangguran sehingga jumlah
pengangguran pada saat itu diperkirakan mencapai 40 juta orang. Dampaknya
adalah maraknya tindakan kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah harus membuka lapangan kerja baru yang dapat
menampung para penganggur tersebut. Dan juga menarik kembali para investor
untuk menanamkan modalnya ke Indonesia sehingga dapat membuka lapangan kerja
C. Bidang Ekonomi
Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan 1997, ekonomi
Indonesia mengalami keterpurukan. Indonesia
mengalami kondisi yang cukup terpuruk dengan terjadinya inflasi. .
Terlihat dari nilai rupiah yang masih bertahan di kisaran Rp 8.000 – Rp 9.000
per dollar AS. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat
makin menurun. Banyak investor asing yang lari keluar negeri dengan alasan
tidak ada jaminan keamanan di Indonesia dan Indonesia dinilai bukan lagi tempat
investasi yang menarik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas
dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak tahun 1997.
Pemerintah juga tidak sanggup
mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia, terutama mata uang
Amerika Serikat, keadaan kas Negara dan bea cukai dalam keadaan nihil, begitu
juga dengan pajak. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa pemerintah Indonesia
mencari pinjaman dana dari luar negeri seperti Amerika, tetapi semua itu tidak
memberikan hasil dan malah memperburuk keadaan rakyat. Banyak peristiwa yang
mengakibatkan defisitnya keuangan negara salah satunya adalah pejabat negara yang
korupt. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk
mengatasi masalah ekonomi adalah menyelenggarakan konferensi ekonomi dengan
agenda utamanya adalah usaha peningkatan produksi pangan dan cara
pendistribusiannya, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan
milik swasta/asing. Catatan 14 tahun terakhir menunjukkan betapa kondisi
sosial-ekonomi, politik, hukum dan budaya kian masuk ke dalam suatu krisis
multi-dimensional. Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa banyak masyarakat
semakin kehilangan makna atas proses demokratisasi di Indonesia, dan karenanya
semakin tidak percaya dengan proses-proses politik yang sedang berjalan atau
mengalami krisis kepercayaan (distrust)
terhadap sistem politik, kepemimpinan politik, organisasi politik serta
lembaga-lembaga politik (formal mau pun non-formal). Kondisi ini paling tidak
oleh sebagian kalangan dikuatirkan akan menuju stagnasi politik, dengan
demikian projek reformasi pun akan gagal, yang ujungnya akan bisa menimbulkan
krisis politik dan ekonomi yang jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah
dialami.
Kesimpulan
Catatan masa pasca reformasi
menunjukkan betapa kondisi sosial, ekonomi, politik kian masuk ke dalam suatu
krisis multi-dimensional. Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa banyak
masyarakat semakin kehilangan makna atas proses demokratisasi di Indonesia, dan
karenanya semakin tidak percaya dengan proses-proses politik yang sedang
berjalan atau mengalami distrust terhadap sistem politik,
kepemimpinan politik, organisasi politik serta lembaga-lembaga politik (formal
mau pun non-formal). Kondisi ini paling tidak oleh sebagian kalangan
dikuatirkan akan menuju stagnasi politik, dengan demikian projek reformasi pun
akan gagal, yang ujungnya akan bisa menimbulkan krisis politik dan ekonomi yang
jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah dialami.
Harus diakui, perubahan sistem
politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi 1998 tidak
sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah
jatuh ke tangan kelompok ideologis lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
kekuatan liberal yang memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus
liberalisasi ekonomi, lebih dominan. Jika pun terjadi sirkulasi kepemimpinan
elit politik di negeri ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan
kalangan kiri dan sosial-demokrasi, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh
kelompok ini. Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok
adalah kegagalan membangun organisasi strategis di dalam mengarahkan perubahan.
Kaum kiri dan sosial-demokrat, selain miskin inovasi di dalam menyusun skema
organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai platform
perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran ideologi
abstrak menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas, selain
persoalan-persoalan konflik internal yang tak berkesudahan.
Karena itu, dengan gampang desain
kaum liberal diterima menjadi desain baru sistem politik Indonesia, sementara
sistem ekonomi kapitalistik tinggal meneruskan skema ekonomi Orde Baru dengan
berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide neoliberalisme ke dalam sistem
ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal sosial, finansial dan jaringan
sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya kreasi, mendorong kaum kiri dan
sosial-demokrat berada di pinggiran.
Dalam posisi seperti inilah kemudian
format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum liberal menjadi begitu
dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan pemain lama di dalam
pentas politik dan ekonomi nasional (saya menyebutnya sebagai broker politik
dan ekonomi suatu istilah yang mungkin secara akademik kurang tepat). Tidak
heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik menjadi hampir tidak
terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan institusi
dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik pemerintahan jauh
dari apa yang dicita-citakan kaum kiri dan sosial-demokrat